Home | Posts RSS | Comments RSS | Login

Legenda aksara jawa

Jumat, 18 September 2009

Sepanjang sejarah kesusastraan Jawa yang panjang , orang Jawa telah mengenal berbagai tulisan asli. Ada suatu legenda menenai asal mula penduduk Jawa yang tertua, dan mengenai masuknya kebudayaan Jawa di pulau Jawa. Hal itu sekaligus juga menerangkan bahwa penggunaan tulisa Jawa merupakan unsur penting dari kebudayaan itu. Legenda tersebut menceritakan kisah Pangeran Ajisaka yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dari Mekah yang berkelana melalui berbagai negara untuk membawa peradaban kepada umat
manusia. Melalui Srilanka, Pantai India Selatan, Sokanda (mungkin yang dimaksudkan adalah Pulau Sumatera), akhirnya Pangeran Ajisaka tiba di Jawa, yang pada waktu itu merupakan tempat tinggal para raksasa dengan rajanya yang bernama Dewata Cengkar.

Dalam perjalanan menjelajahi Nusa Jawa, Pangeran Ajisaka menemukan dua tubuh raksasa yang telah mati. Ditangan kedua raksasa tergenggam masing-masing sehelai daun. Diatas kedua daun tersebut terdapat masing-masing tulisa purwo (kuno) dan tulisan Thai. Oleh pangeran Ajisaka kedua tulisan tersebut disatukan, dan dengan demikian ia menciptakan abjad Jawa yang terdiri atas 20 huruf, yang jika dirangkai membentuk suatu kalimat yang berbunyi : “ha na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba ta nga” . arti kalimat tersebut adalah, “Ada dua orang utusan yang saling bertengkar, keduanya sama kuat dan karena itu keduanya mati”

Legenda itu antara lain ditulis dalam sebuah buku Jawa yang berisikan sejarah mitologi Pulau Jawa hingga berdirinya kerajaan Majapahit, kemudian harus mengalami perubahan huruf Jawa yang diajarkan di sekolah Jawa Tengah dan Jawa Timur sekarang ini adalah yang dipakai dalam karya-karya kesusastraan jaman Mataram dari abad ke-18 dan 19.

Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama berdasarkan pandang pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah.

Konsepsi secara tradisional mendasarkan anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka, Aksara Jawa dan Tahun Saka. Cerita yang sudah dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan Saking Serat Djawi ingkang Tanpa Sekar (Kats,1939), Lajang Hanatjaraka (Dharmabrata,1949), dan Manikmaya (Panambangan, 1981).

Dalam manuskrip Serat Aji Saka (Anonim) dan kutipan Serat Aji Saka (Kats, 1939) misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan . mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, allu bertahta di negeri itu. Kemudian nagari termahsyur sampai dimana-mana. Kabar kemahsyuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengetahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Dihadapan Aji Saka, Dora melaporka bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan mempertahankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka.

Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktianya mereka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan Prayoga ayng diutus ke Majeti, Aji Saka emnyadari atas kekhilafanya. Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya, Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut satra sarimbangan. Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masingt-masing mencakupi lima sastra yakni:
1. Ha-na-ca-ra-ka
2. Da-ta-sa-wa-la
3. Pa-dha-ja-ya-nya
4. Ma-ga-ba-tha-nga


Sastra Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, puph VII Dhandanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut:

Dora goroh turewerdineki Dora bohong ucapanya yakin
Sembada temen tuhu perentah Sembada jujur patuh perintah
Sun kabranang nepsu ture Ku emosi marah ucapanya
Cidra si Dora iku Ingkar si Dora itu
Nulya Prabu Jaka anggarggit Lalu Prabu Jaka Menganggit.

Tks tersebut memuat kisah sebagai berikut.

Ha-na-ca-ra-ka berarti ada “utusan” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan asat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsure itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan ).

Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data “saatnya ( dipanggil ) “ tidak boleh sawala “mengelak” manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksudnya padha “ sama ) atau sesuai, jumbuh, cocok “tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan kelhuran dan keutamaan. Jaya itu “ menang, unggul “ sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan “ sekedar menang “ atau menang tidak sportif.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewidrat, berusaha untuk menanggulanginya.

Teks diatas mririp teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan 1981 : 385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-anak yang sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatjaraka jilid I dan II (Dharmabrata, 1948: 10-11 : 1949:65-66) dihiasi dengan gambar kisah Dora dan Sembada. Hisasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya ha-na-ca-ra-ka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Dikatakan oleh Suryadi (1995: 74-75) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam pikiran absrtaksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh tahun keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.

Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, anma kerajaanya yakni Medangkamulan masih merupakan misteri karena secara historic sulit dibuktikan ketidakterikatan itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam misalnya praduga yang muncul dari Daldjoeni (1984 :147-148) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sejaman dengan kerajaan Prabu Baka di ( sebelah sselatan ) Prambanan, yakni sekitar abad IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar abad tersebut.

Praduga Daljoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar (Brandes, 1889: 382-383) bahwa Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :
Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kaciwahas. Puniaka wiwtaning ratu tulen mangak jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling warung.

Demikianlah ada raja dari tanah tulen, anmanya Prabu Kaciwahas. Itulah permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur Demak sebelah selatan warung. Akan tetapi, penunda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan yang terdapat dalam serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelat Prabu Girimurti pada tahun (saka) 1003 atau tahun 1081 Masehi. Tahun1003 itu dekat dengan tahun 1002 yang disebutkan dalam The History of Java itu disebutkan bahwa Prabu Baka bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 9002, yakni seratus tahun sebelum Aji Saka bertahta.

Sementara itu, dalam Manikmaya disebutkan bahwa Aji Saka dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI-pertengahan abad VII ). Setelah perrgi ke pulau Jwa , sengan sebutan Aji Saka akibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada abad VII (sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad) karena didalam teks tidak disebutkan secara eksplisit.

Warsito (Ciptoprawiro, 1991:46) dalam telaah Serat Sastra Gendhing berpendapat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar. Dengan demikian, saat kelahiran Ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan Karen Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan. Dalam buku Serat Sastra Hendra Prawata dikemukanakan bahwa aksara Jawa diciptakan oleh Sng Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis. Disamping akasara Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sstra Hendra Prawata.

Dikemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makion lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara ayng ada sekarang (Soetrisno 1941 : 10). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, emlainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga tercipalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini. Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua absinya, Dora dan Sembada yang menemui ajlanya secara tragis.
Selain yang telah diuraikan diatas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam Legenda Aji Saka merupakan symbol perang saudara untuk memperebutkan tahta Mjapahit. Perebutan itu mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII (Atmodjo, 1944 : 2).

Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan symbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka. Namun kapan datangnya pembebasab dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri (Pajang) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda Tanya yang saulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.

bersambung.....


1 komentar to Legenda aksara jawa:

Unknown mengatakan...

Goyang Casino Hotel - Las Vegas
Goyang Casino Hotel is the kadangpintar official name ventureberg.com/ of the 스포츠 토토 사이트 property for its gaming facilities in the resort Las Vegas. The resort's gaming goyangfc floor, casino, and spa are www.jtmhub.com

Posting Komentar